Malam minggu adalah malam penantian. Penantian untuk
istirahat sejenak dari kejenuhan rutinitas. Penantian untuk penggemar British
Premier League menyaksikan laga tim kesayangannya. Dan, tentu saja penantian
sepasang kekasih yang karena keadaan memaksa mereka untuk hanya bisa (kadang)
bertemu pada malam minggu. Tapi kali ini saya gak ngomongin tentang cinta yang terpisahkan jarak, namun mari kita omongin para makhluk pengharap cinta, para jomblo.
Bagi para penggiat jomblo, malam minggu adalah malam dimana mereka
mempersiapkan kesibukan yang luar biasa agar terhindar dari cemoohan masyarakat
yang memberikan stigma “ngenes” kepada mereka. Di malam minggu, para penggiat
jomblo ini akan tiba-tiba berubah menjadi pribadi yang lain. Gamers, Anak
Nongkrong, Fans United, Movie Goers, bahkan Bloggers. Dengan seribu satu
alasan, mereka selalu bisa ngeles macam Bajaj membelah kemacetan Ibukota pada
pukul 4 sore. Namun para penggiat jomblo
dalam “kesibukan” malam minggunya, mereka tidak bisa menyembunyikan kesepian
hatinya. Ibarat Joseph Gordon-Levitt merindukan sosok pasangan sempurna namun
terkena friendzone level Zooey Deschanel pada film 500 Days of Summer, mereka
diam-diam menitikkan air mata dan mengumpat,”Why always me?!”
Konsep malam minggu bagi para penggiat jomblo ini sangatlah sakral, menggeser posisi malam jumat sebagai nominasi hari paling mistis dalam seminggu. Bukan pocong, kuntilanak, atau setan-setan mesum langganan film horror Indonesia yang membuat mereka takut. Mereka hanya takut melihat satu hal. Pasangan muda mudi yang sedang kasmaran. Ketika berjalan di bawah suasana malam minggu, mereka akan membawa tasbih, rosario, japamala, kalung mutiara atau apapun yang bisa membantu mereka berdzikir dan fokus untuk menatap ke depan. Untuk mencoba tidak menghiraukan pasangan muda-mudi yang berpapasan di jalan dan menimbulkan angin dingin di kuduk ketika tidak sengaja bersentuhan dengan mereka. Merinding.
Tapi mari kita berikan standing ovation untuk para jomblo pemberani yang berani melintasi malam minggu dengan kesendiriannya. Sebaliknya, para jomblo penakut hanya berani menghabiskan malam minggunya di rumah. Berdoa agar hari segera berganti, ayam jantan segera berkokok dan Matahari segera berikan diskon khusus untuk para jomblo di atas lima tahun.
But, let's don't blame them if they choose to be a single.
Mereka bukannya tidak mau pacaran, tapi lebih ke tidak mampu. Tidak mampu mengutarakan perasaannya kepada orang yang di suka dan akhirnya orang tersebut berpacaran dengan orang lain, atau lebih parah, teman sendiri. Sakit. Rasanya kayak belajar naik sepeda di jalan raya, kesrempet becak, jatuh, kelindes kereta kelinci, terus dikencingin anjing kampung. Perih dan malu sob!
So, pesan terakhir buat para penggiat jomblo. Beranilah bilang cinta sebelum kalian kelindes kereta kelinci terus dikencingin anjing kampung. Setidaknya kalian sudah mencoba.