Senin, 12 November 2012

Ageman

Beberapa saat yang lalu sahabat dari pacar saya (untuk seterusnya saya singkat jadi "si sahabat") memutuskan untuk menikah. Seperti kebanyakan orang Indonesia yang masih berpandangan bahwa agama adalah hal yang harus dinomorsatukan ketika menjalin hubungan dengan seseorang, si sahabat itu kalau istilah anak jaman sekarang sedang galau, karena berbeda agama dengan calon suaminya. 
Dia beruntung karena keluarganya setuju saja kalau dia berpindah agama. Persoalannya adalah si sahabat yang hatinya masih bergejolak apakah dia akan pindah atau putus dengan calonnya karena si calon juga tidak mau mengalah dengan pindah ke agama si sahabat. Saya tidak punya posisi untuk menasihati dia, jadi saya hanya mendengarkan ( saya buruk dalam hal ini) cerita pacar saya tentang si sahabat. 
Saya jadi teringat cerita bapak ibu saya yang dulunya juga berbeda agama. Konflik yang diterima bapak ibu saya melebihi apa yang diderita si sahabat. Ibu saya sampai harus dikurung di sebuah rumah kecil oleh kakak simbah saya atau istilah jawanya "Mbahdhe". Simbah saya sebenarnya tidak begitu ada masalah, namun karena ibu saya lebih lama tinggal dengan mbahdhe saya, beliaulah yang merasa paling "dikhianati". Pun begitu dari pihak bapak saya, dapat penolakan dari ibunya, tapi toh akhirnya mereka menikah juga dan sampai sekarang hidup bahagia dengan berbagai permasalahan rumah tangga tentunya.
Cerita ini membuat saya berpikir lagi. Agama dalam bahasa jawa bisa diluas-artikan sebagai "ageman" atau pegangan untuk hidup. Suatu pegangan untuk hidup kalau benar-benar dari hati seharusnya tidak bisa berubah apapun resikonya. Tapi rupanya masih banyak dari kita yang tidak mempunyai pegangan hidup yang benar-benar dari hati. Walaupun pegangan hidup yang saya maksud disini adalah agama, namun pegangan hidup dalam arti luas bisa jadi apapun yang menurut saya pribadi mampu membuat hati seseorang tentram dengan mengikutinya seumur hidup. Bukan narkotika ya, hal itu hanya penentram palsu, tapi hal-hal seperti alam, batu, hewan pun apabila diambil sifat baiknya bisa jadi sebuah pegangan hidup karena sebuah pegangan hidup seharusnya mampu membuat hidup individu menjadi lebih baik. 
Saya berani bertaruh di negeri ini masih banyak orang yang mengikuti suatu agama hanya karena dia dilahirkan dari keluarga beragama tertentu dan dengan terpaksa mengikuti agama tersebut. Hanya sedikit yang berani memilih agama atau kepercayaan yang sesuai dengan hatinya. Sayang sekali masih banyak juga yang memaksakan kepercayaannya sampai harus melakukan kekerasan, masih banyak yang tidak paham bahwa agama dan kepercayaan adalah benar-benar hal yang pribadi yang hanya mampu dipahami seorang individu. 
Beragama atau berkepercayaan bukanlah tentang benar dan salah ataupun tentang dosa dan pahala. Beragama atau berkepercayaan adalah tentang ketentraman hati, tentang kenyamanan hidup, dan tentang ketenangan jiwa. 
Apa yang saya tulis adalah sebuah pemikiran umum, saya tidak memunculkan pemikiran baru, namun hanya mengingatkan kembali, bahwa agama atau kepercayaan yang dianut secara benar dan dari hati, mampu membuat pribadi dan sekitarnya hidup lebih baik. Jadi, buat si sahabat apabila dia baca tulisan saya, ibu saya pernah bilang begini, "kalau kamu percaya terhadap sesuatu, lakukanlah. Tapi kalau kamu tidak percaya, jangan lakukan."

Sabtu, 12 Mei 2012

Granada



Granada adalah singkatan dari Grha Taruna Pemuda, sebuah nama karang taruna di Perumahan Griya Yasa, Gentan, Baki, Sukoharjo. Didirikan sekitar tahun 2002 atas dorongan bapak-bapak perumahan biar anak mudanya berkreasi dan saling mengenal satu dengan lainnya. Sebenarnya gak perlu karang taruna juga anak Griya Yasa dari kecil udah pada maen bareng terus tiap sore, tapi ada sebagian anak-anak yang pemalu yang gak pintar bergaul. Untuk itulah karang taruna ini ada,untuk mengajak anak-anak lain maen bareng, bersosialisasi di perumahan, bikin acara seru bareng.



Sayangnya waktu angkatan saya sudah mulai kuliah, sudah mulai jarang maen bareng lagi, walaupun pas 17an pasti kumpul lagi. Saya sendiri kuliah di Jogja, ada beberapa anak yang pindah ke luar kota juga, mulai sepi di perumahan, gak ada lagi yang maen bola bareng tiap sore, sudah pada sibuk sendiri-sendiri dengan tugas kuliahnya. Puncaknya adalah ketika beberapa anak sudah mulai lulus kuliah, diterima kerja di luar kota, luar pulau, ada juga yang pindah rumah, Granada sempat bertahan sesaat, namun akhirnya sekarang koma.

Koma bukan mati, karena generasi baru muncul, anak-anak SD-SMP mulai ramai tiap sore bermain di lapangan, tiap malem nongkrong di hik bang Kirno,cuma mereka masih berkelompok sendiri-sendiri, belum menyatu. Tugas Granadalah menyatukan mereka. Semoga pengurus baru mau aktif berkumpul lagi meregenerasi Granada.